3 Indikator Individualisnya Manusia
Di zaman serba navigasi dan tutorial seperti sekarang ini, sudah jadi barang langka piranti usang yang kita panggil dengan sebutan bercengkrama. Entah itu dengan orang terdekat dalam keluarga, sahabat, ataupun komunitas-komunitas tertentu dalam lingkungan yang lebih besar. Orang di arahkan ke satu titik perlawanan terhadap kehidupan sosial yang telah lama bersinergi dengan rasa kebersamaan yang kala itu masih menempati chart reratas di kehidupan manusia setengah modern.
Ada simbol-simbol persatuan, gotong-royong, tenggang rasa dan lain sejenisnya mengendap di sana.
Kala itu semua langkah kaki terdengar derapnya, diiringi lantunan obrolan ringan berpendamping renyahnya canda dan gurauan tulus.
Tak seperti kini, semua jadi misteri hilangnya banyak rasa. Manusia jauh lebih individualis, bahkan melebihi ekspektasi generasi lama. Dunia tak lagi memberikan pilihan kebersamaan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari yang mini, hingga merambah melewati aspek spiritualistik.
Kebersamaan hanya ada dalam bentuk hegemony dan euforia. Pencitraan pribadi atau personal branding jauh maha penting dari sebuah ekosistem bersama. Tag line bersama kita bisa hanya sisipan tak nyata dalam aktualitas. Ujungnya kembali mengurai menjadi sebuah prasasti atas nama pribadi.
Lantas kenapa manusia jauh lebih individualis?
Bukankah selaku mahkluk sosial, manusia sekarang harusnya sadar bersosialisasi jauh lebih memiliki nilai urgensi ketimbang jadi sosialita atau bahkan menjadi seorang sosialis.
Rasanya tak berlebihan kalau kita menyoal virus individualis ini dari perspektif dangkal, supaya kita tak tenggelam dalam keseriusan.
Lalu, apa saja yang membuat manusia sekarang lebih individualis?, berikut secuil paparan yang wajib kita ketahui selain rukun islam dan rukun iman.
Penyebab Manusia Abad ini Jauh Individualistis
1. Tuntutan Ekonomi Yang Makin Meningkat
Tak bisa dipungkiri apalagi di tepis sebelah tangan, faktor ekonomi adalah sumber penggerak utama seseorang menjadi sangat individualis. Roda kehidupan yang selalu menghadapkan manusia pada kebutuhan yang tak pernah jenuh menjadi indikator penggerak mindset manusia untuk mengkultuskan harta benda di atas segalanya.
Oleh para kapitalis, manusia dibuat tak memiliki banyak pilihan demi memutar roda kehidupan. Semua aspek dirancang begitu komersil dan dikomersialisasi. Bahkan untuk urusan mendekatkan diri pada sang pencipta sekalipun. Barangkali anda pernah membaca, mendengar, atau menonton lewat siaran televisi sebuah program doa yang berbayar. Entah sekarang masih eksis, saya tak terlalu yakin, karena tak begitu mengikuti perkembangannya.
Saya jadi teringat setetes cerita usang masa kecil dulu. Dahulu kala dikampung saya bila hendak mambangun rumah, kalau cuma sekedar untuk mendirikan sebuah pondasi tak perlu menyewa jasa tukang, cukup mengundang handai taulan, saudara dekat beserta tetangga kiri kanan. Semuanya akan berasimilasi dalam gotong royong, ditemani kopi, kudapan receh dan makan siang seadanya, maka pondasi rumah akan tercipta dan tak lama. Bahkan ada bonus saling bertukar cerita dan senda gurau. Mengasyik kan, terutama pada sesi kudapan dan makan siangnya.wkwkwkckk.
Sekarang cerita sudah menjadi lain. Entah secara terpaksa atau tidak, manusia sekarang jauh lebih mengedepankan faktor komersialisasi, tak ada makan siang yang gratis, tagline teratas saat ini.
Sejujurnya, pedoman yang seperti itu tak dapat disalahkan. Tak komersil sama dengan tak hidup. Membantu tanpa ada nilai pamrih sudah tak lazim lagi dan tergilas oleh modernisasi dan komersialisasi yang menjamur rata dan merayap.
Lalu, masihkah ada jalan untuk kembali ?
Semua pilihan tentu saja tersedia, tetapi berhadapan dengan arus yang kapitalis, sungguh berat rasanya, bahkan tak mungkin.
2. Pengaruh Era Informasi & Digitalisasi
Sektor informasi dan digitalisasi menjadi janin akan lahirnya sebuah penemuan hebat abad ini yang kita sebut GADGET.
piranti mutakhir yang terus saja berkembang membangun nilai-nilai konsumtif yang over kuota. Karakteristiknya yang menyenangkan dan berkecanduan bagi manusia, menjadikan GADGET jadi sarana utama yang mesti ada bagi siapa saja. Kehadirannya menembus batasan usia dan strata sosial.
Fungsinya yang multiguna menempatkannya di deretan pertama list peoperti manusia modern. Tak memilikinya,,,?hmmmm,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,(silahkan isi sendiri titik-titiknya).
Lalu apa korelasinya gadget dengan pola hidup individualis?
Sangat erat hubungannya bahkan mungkin bisa diibaratkan seperti tiang listrik dan iklan sumur bor. Menempel abadi dan marak dimana-mana.
Sebuah sarana kecil yang kita sebut handphone ataupun smartphone, adalah alat super keren dan maha canggih. Keberadaannya tak mampu di duakan oleh apa saja. Rating pemakaiannya maha tinggi tak terindeks. Manfaatnya sebenarnya cukup banyak, tapi pemanfaatan dan alokasi waktu membuatnya lebih berharga dari apa saja.
Tak pelak lagi, handphone atau smartphone jadi alat kehormatan tanpa jeda. Mengaksesnya mengakibatkan orang melepaskan diri dari lingkungan sekitar. Buaian dunia maya dan sosial media melahirkan generasi baru anti sosial yang hakiki dan kini berlabel netizen.
Memindahkan interaksi sosial ke dunia abstrak yang kita kenal sebagai internet, telah mendorong sedemikian rupa lahirnya sistem interaksi sosial tak berwujud nyata.
Tak ada lagi kelakar renyah di teras rumah, tak ada lagi sekumpulan anak-anak memainkan permainan tradisional peninggalan sejarah. Semua kini tergantikan oleh handphone, pencipta generasi menunduk jempol bergoyang.
Terciptalah kini habitat baru yang tanpa disadari telah terjerumus dalam ekosistem yang anti interaksi sosial.
3. Everything Available In Online
Yap,,,,,Semua sekarang serba online, mulai dari hiburan, jual beli, transportasi hingga pendidikan bisa diakses secara online. Banyak variance fitur yang ditawarkan. Si ibu tak perlu lagi ke warung dengan interaksi sosial harian, atau bahkan ke pasar, tempat singgahnya berjuta interaksi sosial walau terkemas dalam bentuk tawar menawar. Si anak tak perlu lagi ke lapangan voly di depan kompleks untuk main layangan atau lompat tali sambil menyemai jiwa sosialnya. Si bapak tak perlu lagi ke kantor naik angkutan umum yang juga disesaki interaksi sosial.
Semua bisa dijalankan dan didapat via online.
Mencari rezki hingga jodoh bisa secara online, mencari resep masakan hingga bentuk catokan rambut bisa secara online, membayar tagihan hingga menunaikan zakat bisa secara online. Rasanya sudah sangat tipis dinding kehidupan yang tersisa yang tak bisa didapat secara online.
Pada akhirnya, apapun itu bisa online dan imbasnya, rasa sosial akan dibuat offline. Kita hanya butuh media untuk mendapatkan segala hal, dan tak butuk manusia lain sebagai jembatan sosial.
Bagaimana kelak anak cucu kita di beberapa generasi mendatang?
Tak terbayangkan, tingkat individualitas menjulang di ambang batas akhir hidup bersosial dan bermasyarakat. Kelompok mungkin hanya jadi beban,dan tak penting-penting amat.
Kehidupan di masa depan adalah suatu bentuk kehidupan yang mengedepankan sikap individualis sentris, mengedepankan tatanan komersialisme yang teramat konsumtif, buah karya para kapitalis dengan segala teori kemakmurannya.
Sikap anti akan tatanan sosial hidup bermasyarakat yang dulu pernah mekar, menjadi blunder bagi tatanan yang lebih besar yaitunya tatanan sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara. Semua sila yang ada di Pancasila akan samar dan mungkin hilang.
Barangkali sangatlah bijak jika sedikit kita renungkan. Jika kembali ke awal lagi rasanya terlalu berat dan melawan arus modernisasi.
Memupuk dan menyemai rasa sosial dan kebersamaan sejak dini mesti sudah menjadi kewajiban bersama agar tercetak generasi yang tidak anti akan bersosialisasi nyata.
Penggerak utamanya adalah keluarga dan institusi pendidikan dasar.
Mari kita benahi sejenak sikap individualis untuk ditempatkan pada zona privatisasi semata.
Sudah begitu banyaknya rasa yang hilang dihantam badai modernisasi. Persatuan, kebersamaan, tenggang rasa dan tepa slira, gotong royong dalam flurar dan berbagai rasa lainnya yang tak mustahil akan jadi sebuah misteri belaka.
Ayo! Mari kita mulai.
Komentar
Posting Komentar