Makna Pernikahan : Pembuktian Cinta, Tradisi Atau Bullshit?

Pernikahan bermakna berkumpul dan menyatu. Pernikahan menurut cara pandang lama merupakan sebuah institusi sakral berhimpunnya harapan dua anak manusia sebagai perwujudan sikap terlanjur saling cinta. Dua rasa satu visi terdampar di sebuah destinasi  berpanorama budaya dan religi. Pernikahan juga mewajibkan pesertanya tunduk pada hierarki usang bersimbol setia dan tanggung jawab. Terpaksa mengusung niat sama mesti terkadang diuji hantaman godaan tak terbilang jumlah.


Menikah mengikat janji suci
pexel.com

Dalam perspektif lain pernikahan justru dianggap sebagai sebuah partisi, pemisah manusia dengan kebebasan. Sadisnya, pernikahan terkadang dianggap sebagai sebuah simbol ketidakadilan. Ia hanya berkualisi pada golongan kaum pencinta pemilik sah diksi "memungkinkan". Bagi mereka yang telah jatuh terlalu dalam di lubang cinta namun memiliki keterbatasan mengundang pernikahan. Mereka hanya bisa hadirkan air mata saat pernikahan hanya jadi jatah sang mantan atau pujaan.



Iya, bukan tak jarang tradisi membunuh karier cinta sebelum dipermanenkan. Beda suku tak elegan di mata adat. Bukan sekali dua kali, status ekonomi memblokade jalan menuju perayaan cinta. "mau kau beri makan apa anak gadis orang" teriak penguasa raga berbaju kekayaan. Belum lagi isu nasional berpangkat keraguan. Bibit, bebet, bobot bila tak sepadan jangan harap restu berpotensi pelaminan. Lalu apalagi? hmm, ada isu tersahih bersuara religi "tak penting dia siapa yang penting satu keyakinan" fatwa bernilai haram bila dilanggar.


Lalu apa paradigma paling cocok untuk meletakkan pernikahan pada altar sesungguhnya, bila terlalu banyak ini itu. Wajar hadir sangsi berbendara putih keraguan. Pernikahan apakah bukti cinta, tradisi atau cuma bernilai "bullshit"?. Jika tolak ukurnya budaya dan religi benteng pembeda antara manusia dengan binatang, kenapa terlalu boros dengan aturan?


Ataukah pernikahan hanya sekedar instrumen berkedok kesucian penjaga keberlangsungan manusia agar tak punah menjajah dunia.

Ah, terlalu skeptis dong! Bukankah semua golongan pelajang berharap menikah dan bekeluarga? Bukankah pernikahan anjuran agama bahkan di sunnahkan. Sesungguhnya tak ada yang salah dengan menikah. Sudut pandang mana, algoritma seperti apa, atau falsafah yang bagaimana pencetus sangsi? Atau jangan-jangan ini cuma cari sensasi? Hmm, tulisan ini amat terbuka dengan kritikan

Jika itu sensasi, mari berbukti!

Hukum Menikah Dari Sudut Pandang Agama


Kita mulai arakan awan persepsi dari mata religi. Bagaimana agama memandang arti penting pernikahan. Mengapa begitu dalam campur tangan agama membentengi lembaga bertitel sakral.


Menikah Dari Sudut Padang Islam


Islam sangat mengajurkan seseorang menikah bila telah memunuhi syarat dan ketentuan yang telah disyari'atkan. Tujuannya jelas, agar terhindar dari perbuatan bejat setara binatang berlogo perzinaan. Selain itu menikah juga dianggap mampu memelihara manusia dalam ketenangan batin. 


Sejatinya ada beberapa poin yang ditawarkan agama islam akan tujuan pasti sebuah pernikahan. Antara lain :

  • Menjalankan sunnah nabi
  • Menguatkan ibadah
  • Menyempurnakan agama
  • Mengikuti perintah Allah
  • Mendapatkan keturunan yang baik
  • Penyenang hati dalam beribadah
  • Membangun generasi beriman
  • Memperoleh ketenangan
Sumber: m.merdeka.com

Begitu agung dan mulia islam menempatkan penikahan. Tak salah bila diksi "sakral" terdampar di lembaga pernikahan sesungguhnya. Begitu basah kuyup islam memandikan umatnya dengan kebahagian berlandas kesucian. Sekilas tak ada yang salah, sekilas tak ada yang janggal.


Para pegiat dakwah islam berpangkat muballiq, ustad, habib hingga kiyai tak pernah lupa berseru akan perlunya bersegera menikah. Setidak-tidaknya demi meningkatkan populasi islam. Menang dalam jumlah generasi, berpeluang besar menghadirkan harapan menang pula dalam menangkis perang dingin yang selalu menyudutkan islam dalam persepsi radikal dan terorisme. 


Tapi di lain cerita, sayangnya dalil primer pernikahan yang menerangkan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan oleh sang pencipta, terkangkangi oleh second line dalil lain nan terdengar syahdu di mata birahi. Poligami dipaksa menang banyak. Berkedok keadilan konak si jantan kini terpuaskan. Dua, tiga, bahkan hingga empat santapan halal bagi batin haus kedigdayaan nafsu bejat.


Hingga kini hegemoni itu berasa tak akan padam. Menjarah cinta lalu mencampakkan. Sesuai syari'at featuring sunnah nabi, pernikahan mereka labeli kesenangan. Nafsu ketamakan akan birahi mereka bungkus alasan suci. Kesenjangan hati tak mendapat asupan rasa prihatin. "ah cuma wanita, diberi harta kelar masalah" celoteh si fulan penista niat suci.


Di kondisi ini, pernikahan tak lagi menyuarakan tujuan awalnya. Ketenangan batin seperti apa bakal hadir bila kasih sayang terbagi lalu berkirap menghadap dinding tangis. Jika memang mulia, menikah tak lunas dengan air mata. Jika memang suci menikah tak mungkin memelaratkan hati, memiskinkan cinta serta mendogma sakit hati dalam makna paling hakiki.


Lalu apa? Ah, bullshit

Pernikahan Di Dalam Tradisi Dan Budaya


Di negri kita agama memiliki anak kandung dalam ruh tradisi dan budaya. Di Ranah Minang adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Maknanya adat berpedoman pada agama. Tradisi slametan di tanah jawa menjadi simbol ajaran islam nan kultural. Masih banyak rupa adopsi budaya berpangkal dari agama eksis hingga kini di belahan bumi nusantara.


Tak terkecuali urusan pernikahan serta tetek bengeknya. Variance corak dan ragam suara adat berdengung di tiap sudut negri. Dimulai dari prosesi lamaran, hantaran hingga resepsi pernikahan. Adat menggandeng tangan agama mendirikan benteng kokoh pelindung janji suci. Ikatan cinta disimpul mati oleh tradisi. Tak akan terurai begitu saja walau sengaja. 


Adat budaya berfatwa tanpa aksara, menyeru tanpa suara, memerintah tanpa komando dan aba-aba.

Setali tiga uang dengan agama, ekspansi tradisi jauh merasuk hingga titik terdalam urusan pernikahan. Para tetua berpetuah tentang larang pantang dalam pernikahan. Para generasi lama berpesan menutup rapat pintu penikahan pada hadirnya tamu perceraian. Komplit dan begitu kompleks, hikayat adat budaya bercerita tentang pernikahan bertema agung. Banyak corak, banyak warna. Hmm,, sayangnya kebanyakan kini teraplikasi hanya tentang hegemoni dan seremonial.


Mungkin saja para pendahulu kita meninggikan tradisi hingga sejengkal di bawah agama. Jika agama memanusiakan manusia maka tradisi adat dan budaya menjaga manusia tetap jadi manusia. Meminang hingga berpisah diwariskan mereka via jalan beradab. Ada unsur kemanusiaan, nilai-nilai murni kehidupan, tak lupa pula dengan elemen kasih sayang.


Kita kembali ke kenyataan. Jangan pungkiri! Adat serta tradisi pernikahan kini sarat muatan berpenumpang gelap modus perekonomian. Kekayaan harta begitu dipuja semegah seremoni yang di wacanakan. Tradisi serasa menepuk dada saat berpapasan dengan nilai hantaran mendekati langit kepuasan. Si kaya menebar bangga pada dunia, anak keponakannya berkilau diatas tahta pelaminan. Siapa tak tergoda? Siapa tak iri? Siapa dulu dong, anak saya!


Pernikahan sejurus kemudian berangkat jadi barang mahal tak terbeli niat baik. Pernikahan jadi pembagian jatah tak adil bagi si papa. Laraman si miskin terlewatkan, kasihan terlalu premature penolakan. Bibit, bebet, bobot kini senilai harta, pangkat dan kekayaan. Kemiskinan kian terhina upacara megah pernikahan.


Pernikahan akhirnya berkamuflase jadi ajang pamer keadikuasaan sang penghamba kekayaan. 

Anehnya, para kaum marjinal seolah tak terima nasip titipan tuhan. Entah malu atau gengsi sesat jalan. Mereka memaksakan kehendak menggelar seremoni berwajah seadanya. Biar hutang kiri kanan, terpenting dunia perlu dikabari. Kami berpesta resepsi di bawah tenda dan lengkingan musik dangdutan. Hasutan pernikahan tidaklah separah itu tuan.


Menikah itu mahal kawan. Jangan terlena terlampau dalam pada cinta. Saat cinta mesti dihalalkan, siapkan dulu fluktuasi saldo tabungan pada titik tertinggi grafik kenaikan. Jika tak, kemasi lagi hantaran cintamu yang bernilai tak seberapa itu. Atau paksakan saja nasip nafas senin kamismu memanggil pinjaman pemoles harga diri.


Lalu apa petuah adat? Ah, bullshit

Pernikahan Dalam Tema Ikatan Cinta



Sesungguhnya cinta merupakan slogan paling favorit penyeru hari rayanya. Merayakan cinta bermodal kasih dan sayang adalah jalan lapang menuju kediaman kebahagiaan. Mengikat hubungan bergenre serius, mengebat janji sehidup semati, bersumpah selalu setia dan tak ingkar pada janji bukan isapan jempol penghangat halusinasi calon mertua. Cinta jadi modal kuat pengundang penghulu datang.


Manakala cinta akhirnya terpaut di dermaganya. Menikah lalu membina rumah tangga seraya membesarkan harapan jadi langkah teraktual dua anak manusia. Saling bersimbiosis mendekatkan hidup pada mimpi tak mesti ada tawar menawar lagi.


Nyatanya pernikahan tak hanyut hingga hilir maksud. Biduk dihantam prahara batu karang rayuan dunia. Kesetiaan kini bertajuk kerangkeng pembabat kebebasan. Si suami tak terima jatah nongki dibabat kewajiban pada anak istri. Si istri apalagi, dunia perghibahan serasa lebih hangat dari dekapan suami. Kesana kemari mengebulkan lagi tungku dunia gadisnya dulu dirasa lebih asyik dari pada mengasuh si buyung dan si upik.


Toh masih ada baby sitter, masih ada kaum mertua penyayang cucu. Pernikahan sudah tergadai pada kebebasan sejak 3 atau 4 tahun pasca akad. Musim kesini kian memenangkan individualitas. Janji suci nyatanya bablas diterjang kejenuhan. Pernikahan hanya jadi simbol ikatan kekeluargaan bukan lagi simbol ikatan hati. Mengupayakannya tetap berdiri hanya pemenuh tuntutan struktur garis keturunan nan butuh lestari.


Pernikahan kian berangkat jadi lembaga berpangkat simbolis. Simbol kesuksesan bagi para orang tua membebaskan anaknya dari tuntutan jodoh. Malu katanya punya anak perawan tua ataupun bujang lapuk. Simbol perubahan status bagi para pelajang "gue sudah laku lho". Simbol kebanggaan bagi para pria dan gadis pasca meraih ucapan "selamat jadi ayah/ibu". Selebihnya apa? Pernikahan hanya jadi tuntutan membayar tunai kewajiban. Mencari nafkah, melayani lalu membesarkan anak.


Namanya juga kewajiban, pada waktu tertentu bukan mustahil tergelar perang melawan rasa malas. Manusia acap begitu. Akhirnya pernikahan berubah wujud jadi siluman keterpaksaan nan melelahkan. Keihklasan kalah jauh. Belum lagi tuntutan ekonomi yang tak seirama dengan dendang penghasilan. Senandungnya melahirkan pemberontakan batin berhias tengkar tak berkesudahan. Pernikahan akhirnya jadi beban pembabat tawa sumringah. Terpaksa jalani saja, wong sudah terlanjur menikah dan punya anak.


Ucapan cinta dan ikatan kesetiaan dulu kemana rimbanya? Oh ternyata tanpa sadar terobral jadi ampas sejarah. Tapi pernikahan bertahan jua kok, bahagia juga kok. Iya sih, dogma setia dan tanggung jawab masih berkait bersimpul. Namun ranahnya tak lagi cinta. Lalu apa? Entahlah, menikah tanpa bercerai sudah jadi prestasi mumpuni. Ikatan yang ada tak lagi butuh cinta. Demi keberlangsungan harmonisasi keluarga, demi masa depan anak, hanya itu yang tersisa.


Memilih bertahan dari pada pisah serasa langkah paling bijak. Tak perlu tambahkan tema Kekerasan Dalam Rumah Tangga, komersialisasi anak dan lain sebagainya. Itu hanya akan membuat pernikahan bertambah bullshit.


Bukan lagi barang aneh kini muncul paradoks baru dalam babak usang cerita rumah tangga. Ada yang menilai pernikahan sebagai pembatas keinginan. Memilih tidak menikah serta menghindari pernikahan. Membunuh keinginan melabuhkan harapan hidup berpasangan paras indikasi alergi pada kata menikah. Golongan ini memang tak banyak. Kaum pemuja kebebasan melajang. Menyembah kebebasan akan kesendirian tanpa tersentuh ajaran setia dan tanggung jawab. Apa pula coleteh mereka? Let's check this out!


Oponi Para Pesohor Dunia Tentang Pernikahan


1. Cameron Diaz

Pernikahan adalah institusi yang mematikan. "Saya kira kita harus membuat aturan sendiri. Saya tidak berfikir kita harus menjalani hidup dalam sebuah hubungan berdasarkan tradisi lama yang tidak sesuai dengan dunia kita lagi."


2. Diane Kruger

Aktris ini pernah menikah dengan Guillaume Canet pada September 2001 dan bercerai pada 2006. Kemudian ia memacari Joshua Jackson, yang hingga saat ini masih menjalin asmara. "Tanpa terdengar pesimis, saya belajar untuk tidak memercayai pernikahan. Saya percaya pada komitmen yang dibuat di hati Anda. Tidak ada kertas yang dapat membuat Anda tetap tinggal," ujar Diane.


3. Sunny 

Sunny personil Girls Generation tidak percaya pada pernikahan. Dalam acara variety show tahun 2015, dia mengatakan bahwa pernikahan bukanlah suatu keharusan. " Aku belum punya alasan untuk mengubah pendapatku tentang pernikahan. Aku tidak cukup pintar ataupun bijak untuk menikah."


4. Shailene Woodley

Bintang Franchise Divergent ini memiliki pandangan nyeleneh tentang monogami. Shailene tak percaya dengan ajaran monogami, bahkan ia merasa manusia tak sanggup untuk menjalaninya. "Saya belum pernah bertemu seseorang yang bisa membuat saya berpikir, 'Wow, aku bisa membayangkan menghabiskan sebagian hidupku bersamamu,'" katanya dalam wawancara dengan Marie Claire pada tahun 2014. "Saya bahkan tidak tahu apakah manusia memang secara genetik diciptakan untuk bersama satu orang saja seumur hidup mereka."


5. Scarlet Johansson

Scarlet pernah berujar bahwa monogami itu tidak natural, karena membutuhkan energi terlalu besar. "Menurut saya monogamis itu tidak natural. Mungkin saya bisa dicerca kalau berbicara seperti ini, tetapi monogami memang butuh usaha besar dan kerja keras."


Ternyata para seleb kelas satu dunia memang pesimis akan keberhasilan sebuah pernikahan. Bagi mereka pernikahan hanya jadi penghasut kegagalan menuju kebebasan ekspresi hingga karier. Tapi biarlah, tulisan ini tak bermaksud memutar arah kiblat akal sehat pada mereka. Gemerlapnya dunia showbiz barangkali terlalu angkuh pada ikatan monogami bersimpul cinta kasih.


Nilai substansi ingin dicapai hanya berada pada ruang bernama akal sehat. Benarkah pernikahan sesepele mengucapkannya? Atau salahkah manusia mengatur peradaban bila pada akhirnya bermuara sangsi?


Tidaklah. Pernikahan tak se retjeh itu. Pernikahan itu suci, sakral dan penuh ajaran kebaikan. Menikah bukan barang baru dalam tatanan logika dangkal manusia. Menikah bukan pula warisan kebiasaan pendahulu. Menikah adalah cara paling beradab bagi manusia melanjutkan keberlangsungan spesies. Karenanya manusia butuh tools penguat hasrat dalam rupa agama dan budaya.


Sayangnya manusia pula yang ingkar pada titah pendahulunya. Menyimpangkan aturan baku yang lurus dan tak berkedok apapun selain cinta. Mengatas namakan agama dan budaya untuk meludahi putihnya gaun suci. Poligami apapun alasannya tak sejalan lagi dengan poligami made in Nabi. Adat tradisi bermata tajam pada harta.


Tinggalah pernikahan lewat tulisan dalam lembaran surat nikah. Bersemayam dalam catatan sipil kependudukan. Pernikahan jadi lahan menanam prosedural dengan hasil panen pengakuan hukum. Lalu selebihnya apa?  Ah, bullshit!






M💕💕E💕💕S










Share this:

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

12 Rahasia Pria Yang Jarang Diketahui Wanita

Apa Itu Stashing Dalam Hubungan Kenali Tanda-Tandanya

Kejantanan Pria Dapat Diukur Dengan 5 Hal Ini