Perawan Di Sarang Diskriminasi Berkerangkeng Patriarki Dan Feodalisme

Objek pelampiasan nafsu birahi laki-laki dari kaum priayi hingga kuli. Komoditi unggul dari proses visual berlapis komersialisasi. Begitu terpatri kisah sedih bersimbah darah dan air mata. Sejak zaman romawi hingga masa tirani meninggalkan sajak pilu di sudut kursi makan kartini.


Wanita selalu jadi candu kenikmatan mata dan konak pria. Mereka acap disanjung tapi ada yang dilecehkan. Mereka sering dipuja tapi ada yang dihina. Mereka digilai walau terkadang dieksploitasi. Mereka dimanjakan akan tetapi tak jarang didiskriminasi dalam tradisi feodalisme dan patriarki. Mereka sesungguhnya perempuan kita, tak peduli perawan atau janda.


Gadis perawan
pexel.com

Kaum pria penyanjung nilai agung feodalisme dan patriarki senantiasa menempatkan wanita pada posisi terbawah nilai sebuah keagungan manusia. Bahkan tak jarang kedok agama jadi pengkultus opini tak senonoh kaum mereka yang berharta hingga pejabat tak termoral. Wanita bagi mereka hanya prediket pesuruh, pemuas nafsu birahi ketamakan akan kekuasaan.


Tangan-tangan durjana pemegang tali komando undang-undang bukan tak jarang mencetus silang sengketa saat wanita dinilai lancang mengganggu hegemoni kursi kekuasaan lama bermerk "hanya punya pria". Kesetaraan pada akhirnya hanya jadi slogan. Saat si perempuan tak ditempatkan sama di muka hukum, saat hak asuh bernilai mahal di pengadilan, saat korban perkosaan dinilai pemancing pelanggaran moral, saat perempuan maju untuk menjadi pemimpin. Sungguh melebihi emas dan intan penghalang bagi perempuan.


Ada-ada saja ulah pria berbaju patriarki nan berdasi feodal menumbuhkan karang tak terpecah tangan lembut si dara. Syarat-syarat tak terbaca akal sehat kadang berkumandang mencari dukungan tangan. Jika perempuan ingin masuk di suatu insitusi dunia kerja, syarat mutlak mesti mereka lakoni. Harus lebih dulu tes keperawanan. What the hell! Kata SOK SUCI saya ketik dengan kapital.


Pembuat aturan barangkali lupa merambah dan menyiangi nurani terdalam. Tak perawan dianggap jauh lebih nista dari tak perjaka. Seharusnya ada uji kelayakan yang sama. Keterwakilan nilai-nilai keadilan disembunyikan dengan kedok religi. Biarpun tak adil, biarpun diskriminatif asal korbannya perempuan tak akan jadi soalan.


Belum lagi sibunda yang berjuang mati-matian demi hak asuh insan yang dilahirkannya. Belum lagi kekerasan, penindasan, pemerkosaan, human trafficking, dan segala bentuk komersialisasi berobjek wanita. Tak akan berhenti sampai di situ saja. Masih segunung cerita pilu kaum hawa. Sayang mereka lemah walau berjuang. Sayang mereka tak didengar walau berteriak. Sayang mereka merintih, memohon, minta ampun dan bersujud. Nyatanya nafsu priayi berbungkus patriarki tak pernah mengalah dan mau mendengar.


Komnas Perlindungan Perempuan, institusi itu ada, tapi tak syarat makna dan tak banyak bersuara. Sekali lagi, kuku tajam patriarki dan kaum feodal pro sejarah lama lebih dominan dengan nafas penguasa. Buktinya pemerkosaan selalu ada. Perawan dianggap pencapaian singkat yang suatu waktu harus direlakan diuji lalu disangsikan. Kalau kata bejat tak mewakili, Anda boleh sisipkan sendiri untuk lebih mewakilkan tangis perempuan.


Uji Keperawanan Merupakan Diskriminasi Terang-Terangan Bagi Perempuan


Membungkam wanita
pexel.com

Hingga kini ada beberapa institusi yang masih menjalankan tes keperawanan bagi para calon pesertanya. Tak perlu sebut nama. Dengan memasukkan keyword sub judul di atas di google, Anda akan temukan sendiri jawabannya. Pro kontra hadir lalu menyeruak di tengah-tengah masyarakat, bahkan tak luput pula dari sudut mata dunia.


Para pemegang kendali aturan baku menelurkan kebijakan bermata patriarki. Keperawanan dijadikan dalil pentasbih keputusan tertinggi. Seorang gadis bila tak perawan dianggap kurang bermartabat bagi cemerlangnya keagungan institusi. Tak perawan seolah-olah haram diterima di kelompok mayoritas pria. Keperawanan hanya diisukan penyakit serta tabiat buruk.


Sedang bagi perjaka? Ah, bodo amat. Mereka akan dianggap tak bejat. 

Selalu ada jalur khusus purba bagi pria. Keperjakaan bukan virus yang mesti di musnahkan. Digdayanya otokratik dikalangan kaum maskulinitas, memberi ruang cukup lebar untuk mendahulukan pria walau tak perjaka.


Kembali lagi, hanya wanita yang mesti dinilai lalu disaring. Kawat filter usang bersisip feodalisme masih berurat berakar di akal bulus laki-laki. Kekuasaan borjuis masih bertangan panjang patriarki hingga kini. Mungkin bisa saja hingga nanti. Entah generasi kedepan cukup makmur melunturkan tradisi lama kaum pria.


Yang jelas aturan uji kelayakan personalisasi seorang gadis, jika chart teratasnya masih berjuluk tes keperawanan, maka selama itu pula si perawan akan selalu diperlakukan tak adil serta diskriminatif.


Rezim yang terus berganti tak serta merta menawar isu reformasi bagi perlakuan tak setara. walau tlah puluhan tahun berjalan, reformasi masih agak sedikit alergi dengan nasip perempuan. Pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) pun tak pernah terbawa arus menuju nasip perawan. Posisi tertentu masih saja bernilai haram bagi perempuan, apalagi yang tak perawan.


Lalu apa motif feodalisme di kasus ini? Bukankah terlalu mengada-ngada membangkit tradisi lama? Bukankah feodalisme telah terhapus oleh sebuah sistim demokrasi?


Let's check this out!

Peran Feodalisme Dalam Penghakiman Terhadap Keperawanan


Menghakimi wanita
pexel.com

Kita mulaikan dengan sejarah lama. Feodalisme merupakan sistim kekuasaan kalangan bangsawan/monarki tempo dulu dalam menyebar pengaruh pada daerah-daerah di bawah garis kekuasaannya. Mereka bergerak dengan teori kemitraan, melalui cara kerja sama dengan penguasa lokal.


Pada abad pertengahan feodalisme cukup lazim dilakoni kalangan kasta ksatria sekelas bangsawan. Mereka diberi hak oleh monarki atau kerajaan atas hal-hal tertentu, seperti penguasaan atas tanah, pemungutan pajak, dan lain-lain. Sekarang istilah  bersisa kita lantunkan lewat kata "kaum borjuis".


Pada perkembangannya, sistim feodalisme merambat hingga sendi-sendi kecil kehidupan. Efeknya dalam bentuk kelaliman kaum berkuasa, mencetus kisah pedih penuh diskriminasi pada nasip para pekerja pengabdi si kaya. Feodalisme kian berkonotasi buruk. Hingga diperparah dengan keterlibatan perempuan sebagai pesuruh tanpa hak suara, serta alat tukar yang dianggap bernilai rendah.


Penguasa berharta bebas saja memilih perempuan untuk gundiknya. Para borjuis memiliki kuasa mutlak atas kebebasan budak perempuannya. Kala itu wanita tak bernilai apa-apa. Keperawanan bahkan ditawarkan dalam transaksi terang-terangan.


Lalu pada akhirnya, pengaruh buruk feodalisme hinggap hingga ranah pertiwi. Entah terhanyut bersama proses penjajahan atau telah ada sejak zaman kerajaan. Namun yang jelas eksistensinya cukup diperankan mumpuni para bangsawan tanah jawa di dulu kala. 


Sama saja, di tanah kita dulunya perempuan ibarat dibuatkan tali kekang bersimpul mati. Mengenyam pendidikan bahkan sama sekali tak pernah hadir di mimpi perempuan.


Jangankan kekebasan memilih jalan hidup, untuk sekedar keluar rumah perempuan sungguh sangat dilarang. Memilih pasangan hidup bisa jadi tabu bagi perempuan ketika itu. Mereka hanya bisa tunduk pada ke-feodalan meski harus menggadai harga diri dan keperawanan.


Sempat lahir pertentangan dari seorang perempuan berhati baja ber asa tajam. Raden Ajeng Kartini menderap langkah perubahan. Beliau menentang secara terang-terangan kebudayaan jawa yang kental aroma feodalistik. Kesenjangan dalam perlakuan Ia lawan lewat harapan berbaju emansipasi. 


Di mata serta angan Kartini muda, perempuan harus hidup layak. Perempuan mesti mendapatkan pendidikan baca tulis. Perempuan bukan hanya manut jadi pesuruh. Perempuan bisa saja memilih. Bahkan perempuan wajib beranjak dari kegelapan akal munuju cahaya ilmu pendidikan. Sayangnya Kartini hanya seorang diri. Perempuan tak akan mampu menembus karang keegoan pria bermodal kelembutan.


Feodalisme akhirnya menang jua seiring kepergian Sang Wanita Baja menghadap pencipta. Demang dan para bangsawan lama kembali ke tampuk kesewenang-wenangan. Aroma nafas feodal masih membau hingga kini. Sayangnya tak lahir lagi kartini-kartini baru pedobrak karang.


Dalam memainkan peran ke adikuasaannya, pria mengawali di lingkungan terkecil yang kita sebut keluarga. Berposisi sebagai penopang hidup, sang pria mesti kuat, pantang menyerah, tegas tanpa kompromi hati. Mereka lalu sibuk mengais setiap sen yang tertimbun di bumi. Setiap keringat mereka sumbangkan bagi kelangsungan hidup manusia di bawah naungannya.


Meski tanpa disadari, pria malah lalai membangun mental penguasa yang amanah. Kodrat mereka, mereka luapkan hanya pada satu sisi sendi kehidupan. Mencari makan dan menopang hidup. Padahal sesungguhnya tiap pria merupakan pemimpin bukan penguasa bahkan pekerja. Paling terkecil tentu saja pemimpin bagi keluarganya.


Mereka wajib mencari nafkah, namun sebanding dengan wajibnya menjaga marwah keluarga. Putra tercinta tak boleh tumbuh jadi laki-laki tak beriman. Putri kesayangan tak boleh dewasa dengan keliaran. 


Namun nyatanya si pria memang lalai. Si cantik imut yang dulunya manja, kini tumbuh tanpa petuah ayah. Dia lari keluar rumah tanpa pesan pemagar diri. Dia terjerembab dalam kawah yang memperagakan hinanya kemolekan tubuh. Dia bergaul dengan siapa saja. Ganasnya ia tak sadar telah memperjual belikan dengan murah arti sebuah keperawanan.


Si gadis tak sadarkan diri dari dunia. Si ayah hanya sibuk mengurus harta. Kebebasan menang banyak. Jangankan larangan, teguranpun begitu langka didapat. Imbasnya keperawanan kini tersita oleh hura-hura. Jangan salahkan si dara jelita! Kenapa ayahnya tak pernah peduli?


Akhirnya langkah si gadis terhenti. Sapaan masa depan mengharuskannya ikut serta dalam uji keperawanan. Dia tak kuasa menerima penolakan. Dia tak cukup bekal sejak kecil, tak dapat asupan nutrisi kalbu. Dia gagal ulah pria yang tak memberi cukup nasehat serta bimbingan. Dia gagal ulah aturan pria juga. Lalu dia bisa apa? Apakah bukan diskriminasi namanya? Entahlah,,,


Budaya Patriarki Tak Pernah Mati

Banyak golongan pria mengatasnamakan agama pembabat kesetaraan yang diminta wanita. Wanita tak boleh begini, jangan seperti itu. Cukup pria saja yang maju menghadang nasip. Wanita cukup urusi sumur, dapur, kasur. Sebuah penerapan pola patriarki sejati.


Mungkin sang pria lupa. Dulu di muka bumi, pernah dihidupkan tuhan sosok manusia perubah ahklak serta pengangkat derajat kaum wanita. Baginda Rasulullah sang nabi penutup. Beliau insan paling mulia di muka bumi. Memiliki istri seorang yang ikut berkecimpung mencari nafkah lewat cara berdagang. Bahkan sahabat kesayangan sang Ulil Amri Sayyidina Umar, si tegas pembela islam. Satu waktu pernah kedapatan diomeli sang istri. Namun Beliau hanya diam. Sebagai bentuk rasa terimakasih karena telah melahirkan dan membesarkan anaknya.


Wanita dimata mereka bukan dikerangkeng, tapi dididik.

Lalu dalil agama seperti apa pemutus harap wanita. Sejujurnya dalil yang dipakai hanya sebagai kedok, penutup aib dan lemah lunglainya pria. Mereka hanya tak jujur pada dunia,  bahwa mereka tak sanggup mendidik ahklak wanitanya. Coba mereka mampu jadi pemimpin yang berbudi luhur. Pemimpin yang mampu arahkan wanita ke jalan lurus selurus lurusnya. 


Maka si wanita cukup bekal ahklak keluar rumah. Jika mereka bekerja, tak sejengkal aurat mereka akan tersingkap, tak seujung rambut bakal tersentuh pria, tak perlu kewaspadaan khusus memelihara virginitas. Begitulah yang terjadi jika si wanita dipimpin pria sebenar-benar pria. Bukan pria bartopi patriarki yang bisanya hanya melarang tapi najis dengan ajaran baik. Bukan pria penakut yang tak punya modal apa-apa mempercantik ahklak wanitanya. 


Sekali lagi, mereka hanya pandai melarang. Lewat dalil agama mereka kokohkan makna kata patriarki. Mereka tak pandai mendidik karena bukan pemimpin yang baik. "wanita di rumah saja!" teriak kebodohan mereka berwarna takut.





M💕💕E💕💕S

Aku menulis tentang wanita bukan untuk mendapat simpati atau bahkan decak kagum mereka. Aku jujur dengan isi hatiku. Pandanganku tentang wanita dipengaruhi malaikat-malikat jelita disekelilingku. 
Bagiku pria terbaik adalah pria yang tidak hanya mampu jadi pelindung bagi wanita, melainkan sanggup jadi petunjuk lurus selurus lurusnya. Hingga saat memberi mereka kesempatan untuk keluar rumah, mereka tak sesat jalan. Saat memberi asa pada kesetaraan, mereka tak lupa tanggung jawab serta takdirnya. Bagiku itulah pria hebat.

Ini semua merupakan pandangan pribadiku terhadap permasalahan perempuan. Aku sadar pro kontra pasti ada. Silahkan tinggalkan jejak di kolom komentar. Akan sangat ku hargai serta apresiasi bila itu disampaikan secara sopan. Kritikpun tidak ku haramkan. Namanya penulis pemula pasti banyak dosa.

Wassalam

 









Share this:

Komentar

  1. aku prihatin dengan masih adanya diskriminasi perempuan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan ini hanya contoh kecil keberpihakan Bu. Tapi sayangnya masih jauh dari sempurna. Saya mesti lbh banyak belajar lagi. Makasi Bu Tira

      Hapus
  2. sepertinya masih terjadi di mana mana.....
    tulisannya mantap.... nambah wawasan.

    Thank you for sharing

    BalasHapus
  3. Cukup prihatin dengan kondisi sekarang ini, diskriminasi bener-bener masih hidup dan ada di tengah Kita. Kalangan perempuan benar-benar kelompok yang dirugikan dan sering menjadi korban diskriminasi. Ntah sejak kapan hal ini berlangsung, sejak kapan hal ini dimulai. Tapi sudah banyak sekali kasus dan cerita tentang diskriminasi terhadap wanita.

    Aku sendiri cukup konsern terhadap hal ini, karena diri sendiri bisa dibilang sudah punya pasangan yang notabene banyak berkecimpung dan memberikan masukan dalam kehidupan dan keseharian. Andai, setiap pria mau dan siap dengan memberikan ruang dan space yang sama terhadap pandangan dan pendapat dari wanita namun tetap menjadi pemimpin dan pemberi arah yang baik tentu diskriminasi dan cerita tentang ketidak adilan terhadap wanita bisa sangat ditekan bahkan dihapuskan.

    tulisan yg sangat menggugah, terima kasih banyak mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mas Rahman Kamal, komentar anda sangat bernilai. Semoga kita sanggup jadi pemimpin amanah bagib perempuan-perempuan kita

      Hapus
  4. Secara sejarah kaum wanita tertindas n terlalu lemah sampek sekarang. Aku mengalami itu. Tapi terkadang qta malu untuk mengakui kesalahan cmn krn martabat n nam baik. Klo wanita2 skrg mau lebih berani mengakui kejahatan yg dilakukan seseorg ma qta wlau itu pejabat sekalipun pasti wanita nggak akan slalu tertindas. Terkadang aku juga heran apa yg ditakuti? Klo bener maju aja. Ini zaman melinial yg bisa membuat seseorang j/ sang penguasa jatuh dengan sekali klik. Tapi ini pelajaran juga tuk wanita diluar sana agar lebih brani n ilangkan rasa minder krn tahta n harta. Tuk kaum "penguasa" anak gadis org bukan boneka mainanmu.
    Thx atas artikelnya mas����
    Moga dgn artikel ini wanita2 Indonesia lebih brani tuk melawan penindasan harga diri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi komentarnya mba, benar² menggigit opinimu. Aku Apreasiasi sekali atas kunjungan dan meninggalkan jejak di tulisanku.🙏🙏

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

12 Rahasia Pria Yang Jarang Diketahui Wanita

Apa Itu Stashing Dalam Hubungan Kenali Tanda-Tandanya

Kejantanan Pria Dapat Diukur Dengan 5 Hal Ini