Perjodohan, Bisakah Tumbuh Cinta?

Proses pembentukan persekutuan hati dalam kualisi cinta bertema perjodohan kini tak populis seperti dulu kala. Manusia bumi abad ini lebih cenderung menggunakan sistem swadaya dalam upaya merancang konsep unifikasi dua hati. Keterlibatan keluarga beserta peran orang tua terkerdilkan oleh program bertajuk pacaran. Begitu banyak lahir sangsi. Mungkinkah tumbuh cinta di lahan perjodohan?


Cinta lebih dulu terintegrasi sebelum restu orang tua. Nilai-nilai kearifan lokal berparadigma adat budaya dan agama tak lagi memainkan peran menetapkan garis-garis besar haluan jodoh. Ia kini hanya jadi simbol pengkultusan menjelang pesta hari raya cinta. Modernisasi di segala sendi kehidupan tak sedikit pengaruhnya memarjinalkan kesucian cara-cara lama.


Jodoh kini dideteksi dan ditargetkan secara mandiri. Para kawanan gadis dan perjaka muda bukan tak jarang menggelar aksi besar-besaran menebar pengaruh cinta di tiap penjuru ranah asmara. Bagi mereka jodoh mesti dicari untuk dibawa pulang. Bila tak, mereka akan dihinggapi malu serta merasa hina disebut tuna cinta.


Pertanyaan penuh sangsi kaum muda, apakah bisa tumbuh cinta di perjodohan?

Untuk menjawabnya mari  simak secara seksama lantunan dalil cinta pengusir ragu. 


Alasan Orang Tua Menjodohkan Anaknya


Setiap oran tua tentu memiliki rencana strategis untuk menciptakan stabilitas kesejahteraan lahir batin bagi putra-putrinya kelak. Berbagai rencana baik jangka pendek maupun jangka panjang, salah satunya teraktualisasi dalam program perjodohan.


Berbagai aspek jadi sumber pembenaran. Tujuan akhirnya jelas keterjaminan hidup layak di masa mendatang. Mahacinta merincinnya atas beberapa alasan.


1. Alasan Ekonomi


Entah karena algoritma berfikir orang tua dalam mendefinisikan rasa kasih pada anak, atau karena dorongan melepas tanggungan beban. Perjodohan didaulat jadi solusi mumpuni. Makanya lo, berhenti udah jadi beban orang tua! Saat sempit, Kalian bisa saja dijodohkan. Walau tak semua orang tua berpola fikir semacam ini, tapi nyatanya Badan Koorsinasi Keluarga Berencana Nasional dalam penelitiannya menemukan beberapa kasus perjodohan di beberapa desa di tanah air.


Anak perempuan paling dominan jadi objek perjodohan. Paradigma usang pencetus konsep perempuan hanya urusi dapur, sumur, kasur, masih cukup mengemuka terutama di daerah pedesaan. Ditambah lagi rendahnya derajat pendidikan, membuat sistem paksa jodoh ini masih eksis dan memiliki rating klasik.


2. Memelihara Budaya


Di beberapa daerah masih kencang bergulir isu adat sebagai tolak ukur perjodohan. Seperti di tanah Batak dengan istilah Pariban atau sepupu sebagai jodoh ideal. Lain lagi di Ranah Minang, hingga kini masih eksis adat Pulang Ka Bako yang nyaris identik dengan budaya pariban. Dimana tujuan akhirnya menjaga keutuhan harta pusaka agar tetap berada dalam lingkaran kepemilikan satu kaum.


Barangkali daerah lain seperti tanah Jawa dan Pasundan masih sangat mungkin terdeteksi praktek-praktek perjodohan berskala kecil. Eratnya masyarakat kita menjunjung tinggi nilai-nilai adat beserta budaya, secara tidak langsung telah berpengaruh pada abadinya pola perjodohan tersebut.


3. Ketakutan Orang Tua Anaknya Tak Mampu Menemukan Jodoh


Skeptisme macam ini didorong oleh cara pandang para orang tua dalam melihat sisi terdalam seorang anak. Di kalangan masyarakat golongan atas pada daerah perkotaan,  muncul semacam fobia tak langka. Para orang tua menyimpan rasa takut tak terucap saat sang anak terlalu larut dalam kesibukan dunia kerja.


Padatnya agenda pekerjaan diyakini sebagian orang tua, sebagai sumber petaka cinta pada sang anak. "Kapan hyung, kamu mau nikah, ingat kamu sudah tak muda lagi!"  Interogasi paling aktual saat si dara atau si buyung terlalu sibuk berdikari.


Jalan pintas sering ditempuh adalah perjodohan. Saat orang tua tak yakin anaknya cukup waktu menyapa jodoh. Saat orang tua tak percaya. Saat orang tua takut anaknya menjadi nominasi bujang lapuk dan perawan tua.


4. Isu Agama


Sebagai manusia paling bertanggung jawab pada kebahagiaan si buah hati, orang tua mencanangkan perjodohan atas dalil agama.


Sebagai orang tua mereka merasa sukses bila mampu hadirkan jodoh berkualitas bagi sang anak. Tolak ukur paling utama yaitunya isu agama. " si Randi harus meminang wanita sholehah bakal istrinya". Atau bisa juga " si Ririn harus dapat suami seorang laki-laki yang mampu jadi imam".


Isu agama cukup sentral perannya mengangkat tingkat kesuburan program perjodohan. Nyatanya selama ini pola tersebut memang cukup mampu bertahan di tengah derasnya arus perubahan zaman.


Orang tua mana tak ingin dapat menantu manusia beriman? Lalu si anak bisa apa? Dengan segala kekuatan iman mereka tunduk pada pinta orang tua. Tak ingin jadi anak durhaka barangkali bisa jadi variance lain utas jawaban. Hmm, bisa sih.


Bagi mereka yang masih berpegang teguh pada keyakinan, perjodohan dinilai masih cukup relevan. Namun hal tersebut tak berlaku bagi kaum milenial moderat.


Menerima pilihan orang tua untuk pendamping hidup, dianggap sebagai suatu kemelaratan hati, kemiskinan cinta dan fakir asmara. Tunduk pada kemauan orang tua, bagi mereka sama saja dengan menyerah menaklukkan cinta.


Walau acap kali gagal mendaratkan jodoh ke pelaminan, namun untuk perjodohan mereka masih berpantang. Walau keseharian termajinalkan dari cinta, asa mereka belumlah tertutup bahkan terbuang.


Alasan Menolak Perjodohan


Banyak sumber nalar bahkan pengalaman pahit sebagai opini menolak aksi jodoh yang disengajakan. Memilih jodoh sendiri tak bakal menuai kecewa pihak manapun. Perjodohan mendapat banyak penolakan keras dari kaum muda. Berbagai rona alasan telah direkap oleh mahacinta, diantaranya:


1. Dianggap Sudah Tak Relevan


Tingginya tingkat pendidikan mendorong seseorang jadi kritis pada cara-cara lama yang dianggap sudah tak relevan lagi. Perjodohon dinilai terlalu klasik bahkan kuno. Insan pemanut pada jodoh kehendak orang tua disebut lemah. Dan parahnya lagi, bagi mereka itu dianggap telah melakukan dosa cinta.


Kaum muda abad ini lebih memilih jomblo dari pada merestui perjodohan. Harga diri kaum pelajang kekinian tak mau bersujud pada jodoh pilihan orang lain, meskipun itu pilihan ortu.


2. Takut Mengecewakan Semua Pihak


Wajar bila muncul asumsi semacam ini. Bila dijodohkan, fikiranmu bisa saja dihantui rasa takut tak sanggup memikul ekspektasi orang tua bahkan mertua.


Mereka pasti memiliki standar tertentu calon pendamping atau calon imam bagi anaknya. Mereka memilih menjodohkan terhasut harapan berlebih.


Atas dasar itu, banyak pelajang memilih hengkang dari wacana perjodohan. Rasa takut tumbuh kecewa di semua pihak jadi alasan terunggul diantara yang lainnya.


3. Perjodohan Dianggap Tindakan Pemaksaan

Sebenarnya sudah sejak lama kaum muda tak merestui jodoh atas wacana orang tua. Darah muda menyala berbaju kritis enggan menunaikan titah bunda menjalin cinta secara paksa. Makin ke sini makin tajam pertentangan serta penolakan. Tak sedikit insan belia memilih kabur dari rumah ketimbang menerima pinangan dari hati asing.


Musim berganti angin berputar haluan. Jiwa muda generasi baru makin memahami arti kemandirian sikap. Memilih cinta secara swadaya dianggap lebih mewakili asa. 


Perubahan tak sejalan mendera generasi tua nan lebih senior mengenal dunia. Mereka tetap keukeuh dengan paradigma lama berpengawal adat budaya. Memaksa kaum muda untuk tunduk pada kebijaksanaan berhaluan sedikit radikal.


Atas alasan itu perjodohan tetap dimaknai sebagai pemaksaan. Tanpa mencoba menganalisa apakah dikemudian hari timbul bahagia timbul sentosa. 


4. Terdoktrin Kisah Siti Nurbaya


Sebuah kisah legenda diukir berpahat roman lama. Kisah cinta paling memilukan terutama bagi wanita sebagai korban.


Siti Nurbaya dianggap sebagai sebuah keterwakilan salah arahnya program perjodohan. Alasan finansial sebagai bahan baku utama pendulang petaka dalam kerangka kawin paksa.


Kala itu memang wanita tabu bersuara. Perawan terkriminalisasi patriarki dan kefeodalan. Memilih jodoh untuk diri sendiri seolah haram bagi perempuan.


Hingga kini nafas Nurbaya masih berhembus mengisi relung kalbu setiap gadis remaja. Fobia bahkan paranoid pada perjodohan kian mengemuka di ranah mereka. Perjodohan dianggap sumber sengsara yang belum tentu membawa nikmat.


5. Keraguan Akan Tumbuhnya Cinta


Bahan dasar utama bangunan rumah tangga tentu saja cinta. Akselerasinya memancing tumbuhnya bahagia berkesinambungan. Cinta merupakan ramuan ampuh sakti mandraguna. Setiap kiat ataupun relationship goals  tanpa mengikutsertakan cinta sama juga bohong bervaliditas tinggi.


Timbul sangsi mengundang tanya di hati. Mungkinkah sistem perjodohan memiliki peluang hadirkan cinta? Bisakah rasa saling asing mengikat hati dalam satu visi? Mungkinkah? Bisakah? Sanggupkah? Sangsi yang wajar tak pula berlebihan.


Walau ada sebagian golongan kaum muda percaya bahwa cinta bisa dikondisikan pasca pernikahan, namun tak mengurangi sangsi itu sendiri. Nyatanya sebagian besar peserta acara pencarian jodoh masih enggan berkualisi dengan rancangan konsep jodoh buatan orang tua. Sangsi yang wajar tak pula berlebihan.


6. Tingginya Angka Perceraian Pasca Perjodohan


Perselisihan dan pertengkeran terus menerus menjadi sebab utama perceraian belakangan ini. Pemicu utamanya ulah faktor ekonomi. Contoh kasus seperti tercatat di Pengadilan Agama Samarinda. Di sana perceraian karena perselisihan berkepanjangan tercatat  mencapai hingga 557 kasus. Sebuah angka yang besar.


Dari ratusan kasus perceraian tersebut, rata-rata melibatkan pasangan muda. Kisaran usia pernikahan mereka berada diantara angka 3 hingga 5 tahun. Setelah dikaji kebih dalam ternyata karena terjadinya pernikahan bukan atas keinginan sendiri. Atau dengan kata lain cepat bercerai karena perhodohan.


Kasus tersebut dapat dijadijan cerminan bahwa pernikahan tanpa rasa cinta sangat rentan didera prahara. Meski layak juga dinilai pro kontra, nyatanya kasus itu ada.


Mungkinkah Perjodohan Menumbuhkan Cinta?


Menjawab pertanyaan di atas Mahacinta tak memposisikan diri sebagai pengundang polemik. Sudut pandang paling netral merupakan sumber pencetus jawab dari tanya paling substansi di tulisan ini.


Jika diantara pembaca yang kesasar ke laman ini, memiliki opini serta pandangan pribadi, sok tinggalkan jejak anda di kolom komentar! Syaratnya cuma sopan dan penuh kedamaian. Tapi nyambung juga dengan judul oke!


Untuk menjawab tanya, di atas mari dengar dan simak baik-baik!


Positive thinking & Open Minded   


Bagi golongan manusia jurusan positive thinking serta open minded, mereka tak akan terjebak pada fikiran "dia adalah pilihan salah, karena bukan kemauan sendiri". Bagaimanapun manusia pasti memiliki kekurangan atau kelemahan. Kenapa tak nikmati saja kekurangannya?  Seraya menemukan hal-hal positif yang ada dalam dirinya, mengenal kebaikannya bisa menjadi sumber kebahagiaan. Seiring berjalannya waktu cinta bisa saja hadir asal mau berfikiran terbuka. Awal yang asing bisa berbuah rasa saling mendekatkan. Tak diragukan lagi bahwa perjodohan sangat mungkin bertelur cinta. Syaratnya cuma berfikiran positif dan terbuka.

Bahagia Mungkin Tapi Tidak Dengan Cinta

Bagi kaum skeptis mereka tak pernah mau percaya cinta atas dasar perjodohan. Keterpaksaan menerima pilihan jodoh dari orang tua, hanya karena takut durhaka. Bahkan tak sedikit pula yang berpura-pura bahagia demi menjaga marwah keluarga.

Jika telah terlanjur hingga memiliki anak. Kebahagiaan bisa saja hadir dari perbedaan haluan sebelumnya. Anak jadi sumber kesentosaan hati yang tak mendapatkannya dari pasangan paksaan.

Bahagia dari proses perjodohan? Iya bisa jadi. Apakah bernaung cinta di dalamnya. Tidak bisa sama sekali tidak. Perjodohan mampu hadirkan kamuflase bahagia. Namun cinta, mana bisa!

Dua poin jawaban di atas tak salah bila dinilai terlalu normatif serta main aman. Tak ada keberanian beropini tajam dari penulis pemula sarat dosa.

Nyatanya bagi kami azas kebenaran tetap di posisi nomor satu. Biarlah begini asal tak menyesatkan. 

Kembali pada tanya, apakah perjodohan bisa lahirkan cinta? Bisa, jika positif thinking dan open minded. Apakah perjodohan bisa datangkan rasa cinta? Tidak, bahagia mungkin tapi tidak dengan cinta. Lha, tapi katanya cinta merupakan sumber kebahagiaan? Iya, bahagia itu datang dari cinta pada anak. Sedang dari pasangan hasil perjodohan, cinta itu masih terkamuflasekan.



M💕💕E💕💕S




 

 








Share this:

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

12 Rahasia Pria Yang Jarang Diketahui Wanita

Apa Itu Stashing Dalam Hubungan Kenali Tanda-Tandanya

Kejantanan Pria Dapat Diukur Dengan 5 Hal Ini